Jarum jam menunjukkan angka diantara pukul 2 dan 4
Sosok itu sudah tak mempedulikan lagi akan hari penuh yg nanti akan ia jalani dengan peluhnya yang banyak bertumpahan di setiap ruang.
Dengan penuh perjuangan yang telah banyak ia lalui, kini ia sudah harus berada di suatu ruang.
Menyiapkan sesuatu untuk dibawa nanti oleh anak-anaknya.
Demi menghemat biaya, ia harus menggunakan waktu tidurnya untuk memasak nasi dan lauk agar bisa dibawa dan dimakan oleh aku dan kedua adik-adikku di tempat kami mencari ilmu.
Anak pertama dan keduanya kini sedang duduk di jenjang yg lebih tinggi darinya. Tidak murah dan tidak mampu sebenarnya jika dilihat oleh orang lain.
Ia tetap memaksakan diri bersama suaminya untuk menyekolahkan ku dan adik ku di sebuah bangunan swasta yang cukup mahal. Tapi impiannya begitu amat mulia.
Begitu mulia ...
Ia dan suaminya hanya ingin jika anak-anaknya tidak merasak sakit yang pernah mereka alami dulu karena tak ada biaya.
Tak ingin anak-anaknya hanya menjadi penonton di kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi yang bertebaran disana-sini.
Tak ingin anak-anaknya dibodoh-bodohi dan membodoh-bodohi oleh orang lain.
Banyak yang salut kepadanya namun tak sedikit juga yg memandang sebelah mata kepadanya.
Tapi ia tetap maju dengan berpegang teguh kepada doa-doa nya selama ini dan kepercayaan tinggi terhadap anak-anaknya yang ia yakini tak akan tega untuk menyakiti harapannya.
Ia tahu bagaimana kejam dan sadisnya hidup ini menghancurkan cita-citanya untuk menjadi seorang sarjana hukum.
Belajar dari kegagalan ia mampu membuka mata, bangkit dan pergi ke kota mencari seberkas harapan.
Menjalani awal dari hidupnya yang pernah ia anggap telah mati dan membangun kebahagiaannya sendiri bersama seseorang yang Tuhan telah ambil tulang rusuknya untuk menjadi satu dengannya.
Melahirkan harapan dan kebahagiaan baru yang selalu ia temani melalui doanya.
Teruntuk mama yang selalu menyiapkan makan siangku sejak subuh.
No comments:
Post a Comment